Selasa, 12 November 2013

Al Azhar: “Keterlaluan jika Pusat Tak Percayakan Blok Siak Pada Riau”



PEKANBARU-Pemerintah RI melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan dinilai keterlaluan jika tidak mengutamakan perusahaan milik daerah Riau untuk mengelola ladang minyak Blok Siak. Pasalnya, Riau saat ini memiliki kemampuan untuk itu.

Demikian tanggapan tokoh masyarakat Riau Al Azhar kepada riaueditor di ruangannya Selasa (22/10) terkait akan habisnya masa kontrak PT. Chevron di Blok Siak pada November bulan depan. Jika pengelolaan ladang minyak yang terdapat di 4 kabupaten/kota ini masih saja diserahkan kepada Chevron atau pun perusahaan lain, sama saja artinya pusat menzholimi Riau.

Dari segi SDM, bahwasannya Riau telah menunjukkan kualitas manusianya dengan keberhasilan mengelola dua blok sebelumnya, yakni Blok CPP dan Blok Langgak. Dikelola oleh dua perusahaan daerah, yakni PT. Bumi Siak Pusako (BSP) untuk Blok CPP dan PT. SPR untuk Blok Langgak, dua blok ini mengalami peningkatan produksi.

Kendati untuk PT. SPR masih memiliki kelemahan dari segi manajerial dalam mengelola blok langgak, namun peningkatan produksi di blok ini menunjukkan bahwa Provinsi Riau telah menepis keraguan bahwa Riau mampu mengelola sendiri SDAnya.

“Sehingganya kita tidak ingin lagi mendengar alasan klasik bahwa perusahaan milik daerah Riau tidak memiliki SDA yang memadai untuk mengelola sektor perminyakan di Riau ini. Kita telah membuktikan bahwa kita mampu,” kata Al Azhar.

Keadaan Riau saat ini juga jauh berbeda dengan masa di mana pertama kalinya daerah mengelola Blok CPP. Hal ini harus dipandang oleh pusat bahwa Riau memiliki alasan tepat untuk mengelola sendiri SDAnya.

Al Azhar yang juga Ketua Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau ini menambahkan, Riau sendiri khususnya LAM akan menghargai kebijakan pemerintah pusat, selama pemerintah pusat bisa menghargai dan mengakui hak-hak masyarakat Riau. “Pusat harus mengubah cara pandang ‘penjajah dan dijajah’ terhadap daerah ini,” ungkap Al Azhar*

Rebut Blok Siak, Riau Harus Kedepankan Kapabilitas



PEKANBARU-Setelah berakhirnya kontrak kerja PT. Chevron di Blok Siak pada akhir November 2013 ini, masyarakat Riau tentunya ingin agar Blok Siak dikelola oleh Pemprov melalui BUMD. Bila mengelola SDA sendiri tentunya akan ada nilai lebih yang menguntungkan daerah.

Kembali mengulang ingatan, selama puluhan tahun Riau hanya menjadi penonton ketika perusahaan asing menyedot SDA di bumi lancang kuning ini. Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang diterima dari pemerintah pusat tidaklah cukup untuk mengejar ketertinggalan negeri yang sudah puluhan tahun menjadi penopang APBN dari minyak buminya ini.

Setelah keberhasilan daerah merebut juga mengelola Blok CPP dan Blok langgak, sepatutnya menjadi pertimbangan pemerintah pusat untuk mengembalikan pengelolaan SDA kepada Riau. Bahwa Riau siap untuk mengelola SDA sendiri.

Tokoh masyarakat yang juga Budayawan Riau Drs. Al Azhar, MA, terkait upaya merebut Blok Siak ini melihat perjuangan merebut Blok Siak mesti dilakukan dengan mengkedepankan sisi bisnis dan kapabilitas. Riau harus menunjukkan kemampuan bahwa daerah bisa mengelola sumber daya alamnya sendiri.

Ada perbedaan antara perjuanngan merebut Blok Siak dengan perjuangan merebut dua blok sebelumnya. Jika Blok CPP dan Blok Langgak lebih mengkedepankan perjuangan secara politis melalui lobi-lobi kepada pemerintah pusat, maka untuk Blok Siak lebih dikedepankan perjuangan bisnis.

“Kita harus tunjukkan kinerja profesional BUMD kita untuk memenangkan tender pengelolaan Blok Siak, gunakan pendekatan bisnis, tunjukkan kapabilitas,” tutur Al Azhar.

Namun itu, dukungan politis untuk merebut Blok Siak ini bukannya tidak dibutuhkan, hanya saja tidak signifikan seperti yang dilakukan dalam merebut Blok CPP dan Blok Langgak. “Dukungan politis untuk perjuangan Blok Siak tetap diperlukan, namun lebih mengkedepankan pendekatan bisnis dalam pengelolaan SDA Migas,” ucap Al Azhar lagi menegaskan.*

Kamis, 01 Maret 2012

Tangkap Lepas BB, Kadishut dan Kasat Polhut Buang badan


Seringnya Dinas Kehutanan melakukan tangkap lepas BB (barang bukti) dikecam keras oleh LSM. Terhitung 2010 hingga 2012 setidaknya lebih dari empat BB yang dilepaskan tanpa alasan jelas. Pelepasan sering dilakukan pada malam hari ini diduga agar tidak diketahui publik.

Terakhir, penangkapan terhadap alat berat dilakukan oleh anggota Polhut Riau yang sedang melakukan patroli pada Jumat, 6 Januari 2012 lalu. Ekskavator ditemukan sedang mengerjakan pembuatan kanal di areal HPT Tesso Nilo seluas 177 hektar. 

Diduga ekskavator yang bekerja  atas perintah KUD Agro Lestari Indah ini melakukan tindak pidana di bidang kehutanan dan dijerat dengan UU No. 41 Tahun 1999 karena melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Alat berat kemudian diamankan di Markas Polhut Riau. 

Namun sayangnya belum genap sebulan alat berat tersebut “parkir” di Markas Polhut Riau Jalan Dahlia, pada 2 Februari 2012 dilepaskan. Pelepasan alat berat ini dilakukan pada malam hari. 

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf yang dihubungi Suara Riau Kamis (1/3/2012), melalui pesan singkatnya seakan tak tahu-menahu atas masalah ini. Kadishut menjawab agar wartawan menghubungi langsung penyidik yang bersangkutan tarhadap masalah ini.

Demikian pula dengan Kepala Satuan Polisi Kehutanan J. Saragih yang dihubungi Suara Riau pada waktu yang sama juga tak memberikan jawaban memuaskan. Saragih juga mengarahkan wartawan untuk langsung bertanya kepada penyidik.

LSM Riau madani menanggapi pelepasan BB ini mengecam keras pelepasan barang bukti yang kerap terjadi di Dinas Kehutanan. LSM mempertanyakan kelanjutan kasus-kasus yang tak pernah sampai ke meja hijau tersebut. 

Sekretaris LSM Riau Madani Tommy Freddy Manungkalit,  kepada Suara Riau Kamis (3/1/2012) mempertanyakan alasan dilepaskannya BB yang diamankan di markas Polhut Riau ini. Terlebih lagi pelepasannya dilakukan pada malam hari.

“Penangkapan ini dilakukan dengan uang negara, harus ada pertanggungjawabannya bagaimana. Soal salah atau tidaknya itu hakim yang menentukan,” kata Tommy. (Andi)

Selasa, 28 Februari 2012

Buruknya Penegakan Hukum dan Tata kelola Sektor Kehutanan Riau


Penegakan hukum dan tata kelola sektor kehutanan di Riau dinilai buruk dan penuh permainan. Mulai dari terbitnya berbagai perizinan yang rata-rata menyimpang hingga munculnya kerusakan ekologis. Kementrian Kehutanan serta Dinas Kehutanan Riau dan Kabupaten/Kota dianggap instansi yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini.

Sekretaris LSM Riau Madani, Tommy Freddy manungkalit, S. Kom kepada Suara Riau Selasa (28/2/2012) menyebutkan, melihat dari banyaknya gugatan legal standing yang telah dilakukan LSM Riau Madani setidaknya selama 4 tahun belakangan, rata-rata keseluruhan materi gugatan terhadap perusahaan perkebunan maupun pertambangan ini adalah alih fungsi kawasan hutan tanpa mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebut saja PT. CLS di Kabupaten Kampar yang berangsur menyulap Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) yang masuk dalam HPT Tesso Nilo seluas 690 hektar lebih dan PT. AA dan PT. RSU )grup Panca Eka) yang menyalahgunakan izin HTI yang dimilikinya seluas 2.450 hektar.

Selain itu, di Kabupaten Pelalawan tersebut pula PT. Peputra Supra Jaya yang membuka kebun sawit di atas lahan yang dibebani izin HTI milik PT. Nusawana Raya. Semua gugatan ini menyertakan Kementrian Kehutanan, dan Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai tergugat.

Di Kabupaten Kuansing, LSM Riau Madani juga mengajukan gugatan legal standing terhadap PT. Manunggal Inti Arthamas (MIA) telah memporakporandakan sekitar 500 hektar kawasan Hutan Lindung Rimbang Baling. Dalam aktifitasnya, PT. MIA yang bergerak di bidang pertambangan batu bara ini melakukan alih fungsi terhadap kawasan Hutan Lindung Rimbang Baling di Kuansing tanpa adanya izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut.

PT. MIA sendiri sebenarnya telah mengajukan izin pelepasan kawasan kepada Menhut, namun ditolak.

Dalam hal ini Riau Madani melihat adanya pembiaran terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan. Pasalnya, selama bertahun-tahun aktifitas perusahaan ini berjalan namun tidak ada tindakan dari Kementrian Kehutanan maupun Dinas Kehutanan Provinsi dan Kab/Kota.

“Mustahil kalau mereka (Kementrian dan Dinas Kehutanan) tidak mengetahui penyimpangan tersebut, bertahun-tahun aktifitas perusahaan ini berjalan mulus tanpa ada kendala. Tentu ada apa-apanya,” kata Tommy.

Yang cukup mencengangkan, dalam masalah ini juga turut terlibat petinggi partai politik tingkat nasional. Sebut saja PT. Panahatan di HutanProduksi Rangau Kabupaten bengkalis. PT. Panahatan ini telah mengalihfungsikan Hutan Produksi Rangau menjadi perkebunan sawit seluas 737 hektar.

Diketahui, bahwa Anas Urbaningrum yang merupakan petinggi DPP Partai Demokrat merupakan Komisaris PT. Panahatan. Hingga saat ini gugatan Riau Madani terhadap PT. Panahatan tahun 2011 lalu masih dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Dumai.

“Keterlibatan oknum pejabat terutama Dinas Kehutanan yang turut bermain dalam masalah ini telah menyebabkan kegiatan penyimpangan itu terus berlanjut. Ini telah menunjukkan buruknya tata kelola dan penegakan hokum di bidang kehutanan di Riau ini,” tutur Tommy. (Andi)

Senin, 27 Februari 2012

FITRA Riau: “ Riau Air Itu Akal-akalan Pemprov Menguras APBD,”


Terkait statemen Gubernur Riau yang menyatakan bahwa maskapai penerbangan milik Pemprov Riau Riau Air akan kembali terbang, mendapat komentar pedas dari Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau. Menurut Fitra, dioperasikannya kembali Riau Air hanya akal-akalan Pemprov Riau untuk menguras dan menghambur-hamburkan APBD.

Fahriza, aktivis Fitra ketika dihubungi Suara Riau Selasa (28/2/2012) menyebutkan, seharusnya sebelum dioperasikan kembali, harus ada hasil audit menyeluruh terhadap Riau Air. Perlu kajian-kajian mendalam, karena selama ini Riau Air hanya membebani APBD tanpa pernah sedikit pun memberikan kontribusi. Padahal dana APBD yang dikucurkan untuk Riau Air sudah sangat besar.

“Kalau mau dioperasikan kembali, kita lihat dananya dari mana, ini hanya alasan untuk menguras APBD,” kata Fahriza.

Beberapa waktu lalu, statemen Pemprov Riau adanya investor yang ingin mengucurkan modalnya untuk Riau Air juga dipertanyakan. Bahwasannya, untuk menanamkan investasi pengusaha akan meilhat dari kacamata bisnis, ada kajian untung rugi.

Sementara Riau Air sendiri selama ini menurut Fahriza memiliki track record yang sangat buruk bila ingin berinvestasi. “Dulu disebut-sebut ada investor yang ingin berinvestasi di Riau Air itu mustahil. Lihat saja kondisi Riau Air yang manajemennya tak jelas, hutang kepada pemilik pesawat yang disewanya, juga gaji karyawan yang dirumahkan belum selesai dibayarkan,” kata Fahriza.

Tambah Fahriza lagi, jika pejabat Riau tetap ngotot mempertahankan Riau Air, seharusnya pejabat-pejabat di Riau ini ingin terbang mereka komitmen untuk menggunakan Riau Air. “Mereka bercuap-cuap untuk mempertahankan Riau Air masyarakat harus terbang dengan Riau Air, tapi mereka sendiri takut terbang dengan Riau Air, karena mereka sadar Riau Air tak layak ditumpangi,” tegasnya.

Seperti diketahui, dalam menutupi biaya operasionalnya, perusahaan daerah milik Pemprov Riau ini bertahun-tahun menggunakan dana APBD. Riau Air tercatat sebagai salah satu perusahaan daerah yang selalu “menetek” kepada APBD dan tak pernah memberikan kontribusi bagi daerah.

Pengamat Ekonomi Riau Edyanus Herman Halim, terkait Riau Air ini seperti penuturannya beberapa waktu lalu menyebutkan, bahwa bisnis penerbangan di Indonesia sebenarnya memiliki prospek yang cerah. Namun itu, untuk menggeluti bisnis penerbangan memerlukan modal  dan investasi besar.

Dengan modal dan investasi yang besar tersebut, maka perusahaan harus memiliki manajemen dan performance yang bagus. Untuk menambah investasi di Riau Air, Edyanus Halim menyarankan agar dilakukan penilaian melalui pendekatan yang jelas dan sah.

Riau Air perlu dinilai lebih mendalam. Dari aspek bisnis harus benar-benar dikaji apakah menguntungkan atau justru merugikan. (Andi)

Sabtu, 25 Februari 2012

Nasib Pabrik Bio Diesel Balitbang Riau Kian Kabur

Pabrik Bio Diesel yang berada di bawah tanggung jawab Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Riau yang bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terancam gagal. Setelah dilakukan audit dan analisis oleh BPPT, pabrik ini masih dikatakan layak produksi. Namun kendala terbesar adalah pasokan bahan baku.

Rice Wiliarti, Sekretaris Balitbang Provinsi Riau kepada Riautimes Rabu (22/2/2012) menyebutkan, tidak adanya kepastian pasokan bahan baku merupakan kendala utama beroperasinya pabrik biodiesel yang terletak di Kabupaten Kampar ini. Untuk itu perlu adanya kebijakan pemerintah pusat agar pasokan bahan baku pabrik ini jelas.

Sebelumnya Rice mengharapkan agar pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Riau bersedia bekerja sama untuk pasokan bahan baku berupa limbah produksinya untuk diolah, namun tidak ada jawaban yang mencerahkan dari PKS ini.

“Padahal Riau punya potensi besar untuk pabrik Bio Diesel ini. Sebuty saja PT. Wilmar dengan PKS terbesar di Riau, kita sangat harapkan kontribusinya untuk masalah ini,” kata Rice.

Pihaknya juga tak bias memastikan solusi lain agar pabrik Biodiesel yang menelan APBD tahun 2005 sebesar kurang lebih 5 M ini bisa beroperasi dan tak sia-sia. Untuk melakukan modifikasi mesin dengan mengganti bahan baku, menurutnya adalah hal yang tak mungkin.

“Hasil audit BPPT beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa pabrik kita ini sebenarnya masih layak untuk beroperasi. Namun walau pun layak, kita tetap saja terkendala di bahan baku,” kata Rice.

Seperti yang sempat dihebohkan media massa lokal dan nasional beberapa waktu lalu, pabrik bio diesel yang terletak di Jalan Pasir Putih tepatnya di depan Pesantren Teknologi di Kabupaten Kampar ini pernah disebut-sebut menjadi penghasil minuman tuak. Setelah heboh di media massa, pabrik tuak dari ratusan batang kelapa di lokasi pabrik tersebut kemudian tak lagi terlihat.

Terungkapnya pabrik tuak di lokasi Pabrik Bio Diesel ini seakan menjadi cambuk bagi Pemprov Riau untuk lebih memperhatikan assetnya yang terbengkalai selama bertahun-tahun di atas lahan 60 Ha milik Pemprov Riau ini. Sejak 2010 Pemprov memulai koordinasi dengan BPPT terkait pabrik biodiesel ini.(Andi)