Sabtu, 25 Februari 2012

Nasib Pabrik Bio Diesel Balitbang Riau Kian Kabur

Pabrik Bio Diesel yang berada di bawah tanggung jawab Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Riau yang bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terancam gagal. Setelah dilakukan audit dan analisis oleh BPPT, pabrik ini masih dikatakan layak produksi. Namun kendala terbesar adalah pasokan bahan baku.

Rice Wiliarti, Sekretaris Balitbang Provinsi Riau kepada Riautimes Rabu (22/2/2012) menyebutkan, tidak adanya kepastian pasokan bahan baku merupakan kendala utama beroperasinya pabrik biodiesel yang terletak di Kabupaten Kampar ini. Untuk itu perlu adanya kebijakan pemerintah pusat agar pasokan bahan baku pabrik ini jelas.

Sebelumnya Rice mengharapkan agar pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Riau bersedia bekerja sama untuk pasokan bahan baku berupa limbah produksinya untuk diolah, namun tidak ada jawaban yang mencerahkan dari PKS ini.

“Padahal Riau punya potensi besar untuk pabrik Bio Diesel ini. Sebuty saja PT. Wilmar dengan PKS terbesar di Riau, kita sangat harapkan kontribusinya untuk masalah ini,” kata Rice.

Pihaknya juga tak bias memastikan solusi lain agar pabrik Biodiesel yang menelan APBD tahun 2005 sebesar kurang lebih 5 M ini bisa beroperasi dan tak sia-sia. Untuk melakukan modifikasi mesin dengan mengganti bahan baku, menurutnya adalah hal yang tak mungkin.

“Hasil audit BPPT beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa pabrik kita ini sebenarnya masih layak untuk beroperasi. Namun walau pun layak, kita tetap saja terkendala di bahan baku,” kata Rice.

Seperti yang sempat dihebohkan media massa lokal dan nasional beberapa waktu lalu, pabrik bio diesel yang terletak di Jalan Pasir Putih tepatnya di depan Pesantren Teknologi di Kabupaten Kampar ini pernah disebut-sebut menjadi penghasil minuman tuak. Setelah heboh di media massa, pabrik tuak dari ratusan batang kelapa di lokasi pabrik tersebut kemudian tak lagi terlihat.

Terungkapnya pabrik tuak di lokasi Pabrik Bio Diesel ini seakan menjadi cambuk bagi Pemprov Riau untuk lebih memperhatikan assetnya yang terbengkalai selama bertahun-tahun di atas lahan 60 Ha milik Pemprov Riau ini. Sejak 2010 Pemprov memulai koordinasi dengan BPPT terkait pabrik biodiesel ini.(Andi)

Seratusan Nama Pejabat Dalam Plasma PT. TBS

Dari sekitar ribuan Ha kebun plasma yang diperuntukkan bagi masyarakat dalam pola KKPA dengan PT. Tri Bakti Sarimas di Kabupaten Kuansing, terdapat sekitar 100 lebih nama pejabat Kabupaten dan mantan pejabat serta mantan anggota DPR RI yang masuk dalam anggota KKPA. Rata-rata para pejabat ini memiliki plasma PT. TBS lebih dari 10 Ha.

Demikian dituturkan Mansuetus Darto, Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Nasional. Masuknya nama-nama pejabat, mantan pejabat serta anggota dewan ini menjadi pengganjal penyelesaian konflik yang terjadi antara perusahaan dengan masyarakat.

“Kita telah mendorong perusahaan dan lembaga pemerintahan Negara untuk menyelesaikan masalah dengan masyarakat ini, namun tidak terlihat adanya itikad baik dari PT. TBS untuk menyelesaikkannya. Kita menduga keterlibatan pejabat tadi yang mengganjal penyelesaian masalah ini,” klata Mansuetus Darto.

Lanjutnya, bisnis perkebunan terutama kelapa sawit tidak terlepas dari bisnis politik dan keterlibatan para pejabat baik pusat dan daerah.

Diketahui, hingga saat ini antara PT. Tri Bakti Sarimas dengan masyarakat 11 desa di Kuansing dalam kerja sama kebun sawit pola KKPA masih menyisakan masalah. Masih ada kekurangan plasma yang hingga saat ini terus dijanjikan oleh PT. TBS untuk ditutupi.

Selain itu, peserta KKPA di 11 desa di Kecamatan Kuantan Mudik ini juga tak bisa mengurus sertifikat kebunnya. Radius, salah seorang peserta KKPA dengan PT. TBS menyebutkan, ketika akan mengurus surat kebunnya, aparat pemerintah dimana dia mengurus surat tersebut mengarahkan untuk menanyakan terlebih dahulu ke PT. TBS.

“Kami sudah berpuluh tahun menetap di kampong ini, dan menyerahkan kebun karet kami kepada PT. TBS untuk ditanami sawit. Namun kenyataannya kami merasa dirugikan, kami tak tahu mana lahan yang seharusnya jadi jatah kami itu,” tutur Radius.

Sebelum terjadi konflik berdarah antara masyarakat dengan PT. TBS, masyarakat hanya menerima Rp. 100.000 per tiga bulan. Setelah konflik beberapa waktu lalu yang sempat menewaskan seorang warga ini, masyarakat bias menerima hingga Rp. 700.000 per bulannya.

Radius juga mempertanyakan munculnya seratusan nama-nama yang belakangan diketahui merupakan pejabat, mantan pejabat serta anggota DPR RI ini. Seharusnya nama tersebut tidak terdapat dalam penerima KKPA dengan PT. TBS. “Sangat disayangkan, dahulu waktu kami masih berkebun karet, kami bias menerima Rp. 1 juta per minggunya,” kata Radius mengakhiri. (Andi)

Konflik Tak Berkesudahan, Regulasi Perkebunan Menjepit Hak Masyarakat

Konflik di sektor perkebunan sawit yang selama ini terjadi dinilai tak akan pernah ada surutnya. Konflik antara masyarakat dengan investor dan perusahaan akan terus terjadi akibat selalu munculnya regulasi yang terus menjepit kepentingan dan hak-hak masyarakat.

Provinsi Riau yang merupakan penyumbang 40 persen produksi sawit di Indonesia, secara nasional merupakan daerah dengan produksi sawit terbesar. Realitas ini juga menyebabkan Riau menjadi daerah dengan konflik paling besar. Dalam 2012 ini saja di Riau tercatat sekitar 11 konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, 9 di antaranya merupakan konflik agrarian di sektor perkebunan Sawit.

Koordinator Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Nasional, Mansuetus Darto dalam Konferensi Persnya Rabu (22/2/2012) menyebutkan, kondisi ini tentunya akan menjadi bom waktu. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk merespon tuntutan petani dan masyarakat. Pemerintah perlu memperbaiki beberapa regulasi yang memberatkan petani sawit dan masyarakat lokal.

“Sebut saja Permentan No. 26 tahun 2007 dan No. 23 tentang revitalisasi perkebunan dan Permentan No. 17 tentang Sistem penetapan harga tandan sawit. Ditambah lagi UU No. 18 Tahun 2004 perkebunan, kita melihat semua regulasi ini memberatkan petani dan masyarakat,” kata Mansuetus Darto.

Di sisi kebijakan ini, posisi luasan lahan milik petani dibuat terbatas. Dalam Permentan No. 26 Tahun 2007 terdapat klausa minimal 20 persen HGU perusahaan besar diberikan kepada masyarakat. Hal ini merupakan bentuk langkah mundur dari kebijakan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang pernah diterapkan. Dalam skema PIR, kebun rakyat (plasma) minimal mendapatkan 60 persen dari total lahan yang sistem kebun kemitraanantara perusahaan dengan masyarakat.

Dalam pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit skala besar, SPKS juga menilai pemerintah belum memiliki kesadaran ekologis. Bahkan ada penilaian izin perkebunan yang diterbitkan kerap menjadi bagian dari buisnis kekuasaan, hingga selalu salah kaprah dan tumpang t indih dengan hak-hak masyarakat.

Selama ini SPKS menganalisis bahwa kesalahan tyerbesar merupakan tanggung jawab pemerintah yang menerbuitkan perizinan. Pemerintah sendiri dengan gampangnya menerbitkan izin, namun ketika berhadapan dengan konflik dan masalah, pemerintah terkesan tutup mata.

“Kita mendesak pemerintah untuk mengkaji kembali pola kemitraan yang ada serta memperbaiki system tata kelola pemerintahan. Ini dilakukan untuk menghormati hak asasi masyarakat dan petani kelapa sawit,” tutup Koordinator Nasional SPKS Mansuetus Darto.(Andi)