Selasa, 24 Februari 2009

Skenario Mafia di Tahura SSH II

Kondisi Tahura Sultan Syarif Hasyim II Riau kian terancam, aksi perambahan terus saja terjadi. Uniknya tak ada upaya maksimal dari pihak terkait menyelamatkan Tahura dari para perambah liar, ada konspirasi busuk untuk meluluhlantakkan Tahura....


Laporan: Andi Affandi
Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim II merupakan salah satu khasanah alam Riau yang harus dipertahankan. Tahura adalah satu-satunya objek wisata hutan alami di Pekanbaru dengan jarak yang tergolong dekat, yakni sekitar 30 Km dari pusat kota.

Tahura SSH II Minas yang memiliki luas 6172 Ha, secara geografis terletak antara 00° 38’ s/d 00° 44’ Lintang Utara dan 101° 27’ s/d 101° 27’ Bujur Timur, Dengan kelerengan (9% -15%) dan ketinggian antara ± 10 meter s/d 100 meter dari permukaan laut.

Garis batas Tahura melintang dari arah Utara ke Selatan, dan garis bujur dari arah Timur ke Barat menyusuri lembah/perbukitan serta memotong beberapa anak sungai. Beberapa sungai dan anak sungai yang mengalir di dalam kawasan Tahura diantaranya sungai Takuana Buluh, Takuana Sungsang, Sungai Rantau Panjang dan beberapa anak sungai yang keseluruhannya mengalir ke pantai timur yang kemudian dikenal sebagai kelompok hutan Sei. Takuana.

Kelompok Hutan Sungai Takuana awalnya ditunjuk menjadi kawasan hutan Wisata Minas dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan RI nomor: 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni 1986 dan surat Keputusan Gubernur Riau nomor: Kpts.367/IV/1985 tanggal 24 April 1985. Kawasan Hutan Wisata ini kemudian ditingkatkan menjadi Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim dengan Surat Keputusan Gubernur Riau nomor: Kpts.677/XI/1995 tanggal 15 Desember 1995 yang menurut RTRWP Riau (Perda 10 1994) adalah Kawasan Lindung.

Sejak dahulu Tahura yang terletak di tiga Kabupaten/Kota yakni Kampar, Siak dan Pekanbaru ini memang selalu akrab dengan konflik tata batas. Tidak ada dan rancunya batasan yang pasti ini telah dimanfaatkan oleh perambah liar untuk terus menggerus Tahura. Perlahan, satu-satunya Taman Hutan Raya di Riau ini semakin menyempit. Bukan tak mungkin Tahura ini nantinya bakal musnah dan berganti dengan perkebunan.

Adalah pada tahun 1999 Menhutbun RI menerbitkan SK Menhutbun No. 348/Kpts-II/99 tentang penetapan kawasan Tahura SSH II. Bisa dikatakan dibalik SK inilah para perambah liar di dalam kawasan Tahura berlindung, yang seolah juga diamini oleh pihak Dinas Kehutanan Riau. Maklumlah, Dinas provinsi sebagai perpanjangan tangan pusat selalu manut pada keputusan departemen, sekalipun harus melanggar titah pak Gubernur.

Ada yang ganjil dari SK Menhutbun ini, walaupun luas kawasan Tahura yang ditetapkan Menhutbun sama dengan SK Gubernur Riau Kpts.105.a/III/1998 tanggal 27 Maret 1998 yakni 6.172 ha, namun dalam pemetaannya jauh melenceng dari Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.

Masih terkait SK Menhutbun tahun 1999, Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menyebutkan Menteri menetapkan kawasan Suaka Alam atau Kawasan Pelestarian Alam dengan berdasarkan Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan oleh panitia Tata Batas. Inilah kemudian yang tidak dilakukan oleh Menhutbun saat itu.

Adapun yang menjadi dasar Pemerintah Provinsi Riau sebagai batas Tahura adalah pedoman peta Tahura hasil paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Riau berdasarkan perda no. 10 tahun 1994. Hal ini sesungguhnya telah mengacu kepada SK Gubernur Riau Kpts.105.a/III/1998 tanggal 27 Maret 1998 yang telah berdasarkan pada Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan.

Disinilah titik permasalahan tata batas Tahura SSH II ini muncul, yaitu versi SK Menhutbun yang tidak sesuai dengan Berita Acara Tata Batas dan SK Gubernur Riau yang sudah mengacu pada Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan Panitia Tata Batas kawasan Hutan. Di satu sisi SK Menhutbun ini sangat menguntungkan perambah liar, dan di sisi lainnya sangat merugikan keberadaan Tahura SSH II itu sendiri.

Tangkap Lepas
Terakhir, pada September 2008 lalu satu unit alat berat jenis eskavator yang tertangkap beroperasi di dalam kawasan Tahura lepas di Praperadilan PN Bangkinang. Pasca Praperadilan, tidak ada usaha yang berarti dari Dinas Kehutanan untuk mempertahankan argumennya atas penangkapan eskavator tersebut.

Saat itu, Hakim Praperadilan menggunakan dasar SK Menhutbun No. 348/Kpts-II/99. Disebutkan, berdasarkan SK Menhutbun tersebut alat berat yang beroperasi ternyata berada di luar peta Tahura yang ditetapkan Menhutbun.

Keputusan yang diambil Hakim untuk memenangkan pemilik eskavator ini sesungguhnya terlalu dini dan sangat dipertanyakan. Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan PP No. 68 Tahun 1998. Lagi ditegaskan, SK Menhutbun itu sendiri tidaklah berdasarkan Berita Acara Tapal Batas yang direkomendasikan oleh Panitia Tata Batas.

Berdasarkan Berita Acara Tata Batas yang direkomendasikan oleh panitia Tata Batas, dasar penangkapan alat berat tersebut oleh Polhut sudah sesuai peta tata batas yang direkomendasikan oleh Panitia tata Batas kawasan Hutan.

Dengan beberapa keganjilan ini, yang sangat diuntungkan adalah pihak-pihak perambah Tahura. Kembali ditekankan, tata batas yang ditetapkan Menhutbun jauh melenceng dari tata batas yang ditetapkan oleh Panitia Tata Batas, atau dengan kata lain telah terjadi penggeseran kawasan Tahura.


Tidak adanya perlawanan yang berarti dari Dinas Kehutanan atas kasus ini sangat dipertanyakan oleh Direktur Eksekutif LSM Tropika Harijal Jalil. Bila Dinas Kehutanan benar-benar mempertahankan Tahura, Dishut seharusnya merasa keberatan dengan putusan hakim itu. Terlebih lagi ada dua versi peta Tahura.

Lanjut Harijal, SK Menhutbun ini sangat menguntungkan pihak-pihak yang melakukan perambahan di dalam kawasan Tahura. “Ini jelas akan mengancam keutuhan Tahura, luas yang sesungguhnya itu adalah yang sesuai dengan tata batas yang direkomendasikan Panitia Tata batas,” katanya.
Harijal juga mengkritisi Hakim Praperadilan PN Bangkinang yang memenangkan pemilik alat berat yang tetangkap saat beroperasi di dalam kawasan Tahura. Menurutnya, Hakim terlalu cepat mengambil keputusan, padahal ada dua versi peta tahura yang dijadikan alasan tangkap lepas alat berat tersebut. “Sangat disayangkan kalau Dinas Kehutanan tidak mengambil langkah lanjutan atas masalah ini,” tambahnya.

Mafia

Keberadaan Tahura yang saat ini kian menyempit akibat dirambah oleh perambah liar, sangat kuat dugaan adanya konspirasi dengan pihak-pihak tertentu di Dinas Kehutanan Provinsi Riau. Terlebih lagi perambahnya sesalu lolos dari jeratan hukum. DH, tokoh mafia yang cukup dikenal di Pekanbaru kemudian disebut-sebut terlibat dalam perambahan di Tahura.

Komentar ini keluar dari mulut seorang pegawai di Dinas Kehutanan sendiri ketika Riau Editor sedang bercakap-cakap dengannya di salah satu kedai kopi di Jalan Hang Tuah. “Jangan heran kalau alat beratnya selalu lepas, itu sudah diatur dalam skenarionya,” katanya.

Bahkan pegawai ini menyebutkan, konon kabarnya Kepala Dinas Kehutanan saat itu, Ir. FL, ketika melepaskan alat berat di Praperadilan Bangkinang diduga telah disuap agar tidak memperpanjang kasus ini. Sayangnya, hingga tulisan ini dimuat Riau Editor belum berhasil menghubungi FL**

Kamis, 05 Februari 2009

Trik Jitu Praperadilan

Tangkap lepas alat berat versi Dinas Kehutanan bukanlah hal yang baru. Beberapa kali Dinas Kehutanan menangkap alat berat ekskavator yang beroperasi di dalam kawasan lindung, ujung-ujungnya selalu lepas.

Terhitung dari tahun 1999 hingga 2008, ada beberapa kasus ‘tangkap lepas’ alat berat yang ditangkap oleh Dinas Kehutanan dan BKSDA Riau. Diduga, ada permainan dan trik busuk antara pemilik alat berat dengan pihak terkait termasuk hakim.

Salah satu trik jitu untuk membebaskan alat seharga ratusan juta itu adalah mempraperadilankan pemiliknya. Tarmaktub dalam UU No. 5 Tahun 2004 menutup upaya hukum atas keluarnya keputusan di praperadilan.

Dengan adanya Praperadilan, bukan hanya kasus ‘tangkap lepas’ alat berat saja, namun juga kasus-kasus lain yang dipraperadilankan. Tak ayal lagi, Praperadilan menjadi jalan pintas, sarana tepat dan cepat untuk menutup celah mencari keadilan.

Dalam sebuah acara, Mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyebutkan tidak tertutup kemungkinan akan dilanjutkannya kasus yang sudah diputuskan di Praperadilan. Lantas apakah dasar Ketua MA ini berkata seperti itu?

Dalam landasan hukum MA (UU No. 5 Tahun 2004), jelas dinyatakan ada pengecualian kasasi, termasuk dalam pengecualian itu putusan Praperadilan. Ini berarti Praperadilan merupakan keputusan final yang tidak bisa diganggu gugat lagi.

Praperadilan sendiri lebih diartikan sebagai pengadilan terhadap salah dan benarnya penyidik yang mengungkap suatu kasus. Apakah bukti benar atau tidaknya untuk dilanjutkan ke pengadilan, di Praperadilan tempatnya.

Lantas, bagaimana dengan Praperadilan ‘tangkap lepas’ alat berat oleh Dinas Kehutanan yang di praperadilankan di PN Bangkinang pada September lalu? Bila benar ada trik yang memuluskan alat berat itu untuk lepas, artinya Dinas Kehutanan ‘menjual diri’. Dishut rela dicap sebagai instansi yang tidak profesional dalam menjalankan tugas.

Dengan keluarnya keputusan di Praperadilan PN Bangkinang untuk kasus eskavator yang diduga tertangkap saat beroperasi dalam kawasan Tahura itu, sama saja artinya hakim Praperadilan menilai pekerjaan Dishut tak becus, “masa sih bisa salah tangkap, atau ada apa apanya dibalik Praperadilan ini” ujar seorang aktivis lingkungan di Riau **