Sabtu, 25 Februari 2012

Konflik Tak Berkesudahan, Regulasi Perkebunan Menjepit Hak Masyarakat

Konflik di sektor perkebunan sawit yang selama ini terjadi dinilai tak akan pernah ada surutnya. Konflik antara masyarakat dengan investor dan perusahaan akan terus terjadi akibat selalu munculnya regulasi yang terus menjepit kepentingan dan hak-hak masyarakat.

Provinsi Riau yang merupakan penyumbang 40 persen produksi sawit di Indonesia, secara nasional merupakan daerah dengan produksi sawit terbesar. Realitas ini juga menyebabkan Riau menjadi daerah dengan konflik paling besar. Dalam 2012 ini saja di Riau tercatat sekitar 11 konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, 9 di antaranya merupakan konflik agrarian di sektor perkebunan Sawit.

Koordinator Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Nasional, Mansuetus Darto dalam Konferensi Persnya Rabu (22/2/2012) menyebutkan, kondisi ini tentunya akan menjadi bom waktu. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah untuk merespon tuntutan petani dan masyarakat. Pemerintah perlu memperbaiki beberapa regulasi yang memberatkan petani sawit dan masyarakat lokal.

“Sebut saja Permentan No. 26 tahun 2007 dan No. 23 tentang revitalisasi perkebunan dan Permentan No. 17 tentang Sistem penetapan harga tandan sawit. Ditambah lagi UU No. 18 Tahun 2004 perkebunan, kita melihat semua regulasi ini memberatkan petani dan masyarakat,” kata Mansuetus Darto.

Di sisi kebijakan ini, posisi luasan lahan milik petani dibuat terbatas. Dalam Permentan No. 26 Tahun 2007 terdapat klausa minimal 20 persen HGU perusahaan besar diberikan kepada masyarakat. Hal ini merupakan bentuk langkah mundur dari kebijakan PIR (Perkebunan Inti Rakyat) yang pernah diterapkan. Dalam skema PIR, kebun rakyat (plasma) minimal mendapatkan 60 persen dari total lahan yang sistem kebun kemitraanantara perusahaan dengan masyarakat.

Dalam pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit skala besar, SPKS juga menilai pemerintah belum memiliki kesadaran ekologis. Bahkan ada penilaian izin perkebunan yang diterbitkan kerap menjadi bagian dari buisnis kekuasaan, hingga selalu salah kaprah dan tumpang t indih dengan hak-hak masyarakat.

Selama ini SPKS menganalisis bahwa kesalahan tyerbesar merupakan tanggung jawab pemerintah yang menerbuitkan perizinan. Pemerintah sendiri dengan gampangnya menerbitkan izin, namun ketika berhadapan dengan konflik dan masalah, pemerintah terkesan tutup mata.

“Kita mendesak pemerintah untuk mengkaji kembali pola kemitraan yang ada serta memperbaiki system tata kelola pemerintahan. Ini dilakukan untuk menghormati hak asasi masyarakat dan petani kelapa sawit,” tutup Koordinator Nasional SPKS Mansuetus Darto.(Andi)

Tidak ada komentar: